Sabtu, 28 Maret 2015

Subagio Sastrowardoyo – Senja



Aku tak tahan melihat senja
Ku tutup daun pintu supaya tak tembus sinarnya
Saat paling baik adalah berada
di kapal terbang menuju ke timur
atau sedang tertidur
di kereta api sehingga senja lekas terlewati

Senja mengingatkan aku kepada
Perpisahan yang diulur-ulur
dan kepada keraguan antara
kehadiran dan kemusnahan
mengapa tidak sekaligus mati
sehingga orang tak sempat
meneteskan air mata
aku terus menghindari senja 
senja yang membawa sedih selalu

Tanyaku Pada Semesta



 
Bolehkah aku bertanya pada Matahari?
 Mengapa ia begitu betah sendiri?
Bolehkah aku bertanya pada Bintang?
Mengapa ia begitu setia bersanding bersama Bulan?
Kita seperti mereka, ya?
Hanya saja akulah Matahari dan kaulah Bulan itu.
Seerat apapun harapan kita memohon pada semesta,
Memohon hujan sebagai tanda cinta kita yang lega
Kita tidak akan pernah bisa bersanding bersama

Sebuah karya sederhana dengan sebatang pena yang didapat dari seorang wisatawan asing beberapa tahun silam.
Denpasar, hari kedua puluh delapan - bulan ketiga - 2015.
 
Sonia Purbawati (Sonia Putri Purbawati)

Jumat, 27 Maret 2015

Kahlil Gibran - Lagu Ombak




Pantai yang perkasa adalah kekasihku,
Dan aku adalah kekasihnya,
Akhirnya kami dipertautkan oleh cinta,
Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya.
Kupergi padanya dengan cepat
Lalu berpisah dengan berat hati.
Membisikkan selamat tinggal berulang kali.

Aku segera bergerak diam-diam
Dari balik kebiruan cakrawala
Untuk mengayunkan sinar keperakan buihku
Ke pangkuan keemasan pasirnya
Dan kami berpadu dalam adunan terindah.

Aku lepaskan kehausannya
Dan nafasku memenuhi segenap relung hatinya
Dia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada.
Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cinta
di telinganya, dan dia memelukku penuh damba

Di terik siang kunyanyikan dia lagu harapan
Diiringi kucupan-kucupan kasih sayang
Gerakku pantas diwarnai kebimbangan
Sedangkan dia tetap sabar dan tenang.
Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahan

Kala air pasang kami saling memeluk
Kala surut aku berlutut menjamah kakinya
Memanjatkan doa

Seribu sayang, aku selalu berjaga sendiri
Menyusut kekuatanku.
Tetapi aku pemuja cinta,
Dan kebenaran cinta itu sendiri perkasa,
Mungkin kelelahan akan menimpaku,
Namun tiada aku bakal binasa.


Sapardi Djoko Damono - Hutan Kelabu



Kau pun kekasihku
Langit di mana berakhir setiap pandangan
Bermula kepedihan rindu itu
Temaram kepadaku semata
Memutih dari seribu warna
Hujan senandung dalam hutan
Lalu kelabu menabuh nyanyian

Chairil Anwar - Tuti Artic



Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca
cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal
terasa
- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang -
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali
bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947

Kamis, 26 Maret 2015

Kehancuran Dua Belas Malam (Cerita Mini/Flash Fiction)

Aku meneguk secangkir kopi hangat yang membual bersama kekecewaan. Mengunyah singkong rebus buatanmu yang dibalutkan kehampaan. Beginikah balasan yang kau beri setelah lima tahun lamanya aku berjuang demi mempertahankan hubungan ini?
            “Sekarang kau punya apa? Orang tuamu sudah meninggal dan tidak mewariskan apa-apa! Pekerjaanmu hanya meminum kopi, menulis tak jelas tanpa memikirkan hal penting yang seharusnya kau tulis tuk mengayom hidup bersamaku nanti! Mau kasih makan apa anak-anakmu nanti? Kau lulusan S2 tetapi Nol!“
“Jangankan anak-anakmu, kau mau memberikan aku mahar berupa apa? Hanya sebongkah hati dan segudang cinta? Makan cinta saja tidak cukup!“
ucapnya dengan keras membentak dihadapanku. Lengkingan teriakanmu itu membuatku benar-benar dipuncak amarah, Winda. Kesabaranku habis pada tetes terakhir di kopi itu.   “Ucapkan sekali lagi!“ bentakku. Ia melakukannya. Ia mengulang kembali perkataannya. Dengan keras aku menendang meja itu dan ingin rasanya aku menampar kedua pipinya pada wajah yang tak lagi membuatku merasakan cinta. Aku terdiam dalam amarah yang tertahan, bergegas ke kamar, dan duduk di pinggiran ranjangku. Ia mengikutiku.
            “Lantas kau mau apa dariku? Aku dan keluargaku memang kaya raya, tapi itu semua dulu! Aku kira kau calon istriku yang mampu menemani dari awal tempat kesuksesanku berada hingga akhir masa kegagalanku! Aku kira kau mampu menjadi sandaran lelahku, penenang tidur malamku saat problematika hadir berekelebat dan menikam mimpi-mimpi kita! Aku kira kau mampu menjadi bidadari yang lembut bagi anak kita, kelak! Semua hanya perkiraan! Dan aku begitu salah telah memilihmu menjadi calon istri!“ dengan geram ia melemparkan cincin pertunangan itu. Malam telah berada pada titik puncaknya, tepat pukul 12 malam. Sunyi, tak satu pun berani angkat suara kecuali kami berdua; aku dan Winda.
“Itu! Itu yang aku mau! Karena aku tidak ingin gila membangun bahtera hidup yang bodoh bersamamu!“ pintanya sembari menunjukkan telunjuknya dikepalaku. Ia meninggalkan segalanya dalam kedaan hancur dan melangkahkan kakinya jauh-jauh, tak menoleh ke belakang sama sekali. Aku ingin mati dan tak ingin merasakan hidup kembali. Aku ditenggelamkan oleh kehancuran hidup yang luar biasa. Tuhan dan bulan sabit yang tertutupi awan itu menjadi saksi pertengkaran dan perpisahan biadabku dengan wanita yang bukan lagi menjadi calon istriku, Winda Trinita. Ya, hanya Tuhan dan bulan sabit yang menjadi saksi malam kehancuran itu.




Sebuah karya sederhana yang telah ku gores dan diterbitkan oleh Penerbit Ellunar, Bandung, dalam Antologi Beneath The Same Moon Vol.2.
Sekali lagi ku ucapkan terima kasih.

Sonia Purbawati (Sonia Putri Purbawati)