Aku meneguk
secangkir kopi hangat yang membual bersama kekecewaan. Mengunyah singkong rebus
buatanmu yang dibalutkan kehampaan. Beginikah balasan yang kau beri setelah
lima tahun lamanya aku berjuang demi mempertahankan hubungan ini?
“Sekarang kau punya apa? Orang tuamu
sudah meninggal dan tidak mewariskan apa-apa! Pekerjaanmu hanya meminum kopi,
menulis tak jelas tanpa memikirkan hal penting yang seharusnya kau tulis tuk
mengayom hidup bersamaku nanti! Mau kasih makan apa anak-anakmu nanti? Kau
lulusan S2 tetapi Nol!“
“Jangankan
anak-anakmu, kau mau memberikan aku mahar berupa apa? Hanya
sebongkah hati dan segudang cinta? Makan cinta saja tidak cukup!“
ucapnya dengan
keras membentak dihadapanku. Lengkingan teriakanmu itu membuatku benar-benar
dipuncak amarah, Winda. Kesabaranku habis pada tetes terakhir di kopi itu. “Ucapkan sekali lagi!“ bentakku. Ia
melakukannya. Ia mengulang kembali perkataannya. Dengan keras aku menendang
meja itu dan ingin rasanya aku menampar kedua pipinya pada wajah yang tak lagi
membuatku merasakan cinta. Aku terdiam dalam amarah yang tertahan, bergegas ke
kamar, dan duduk di pinggiran ranjangku. Ia mengikutiku.
“Lantas
kau mau apa dariku? Aku dan keluargaku memang kaya raya, tapi itu semua dulu!
Aku kira kau calon istriku yang mampu menemani dari awal tempat kesuksesanku
berada hingga akhir masa kegagalanku! Aku kira kau mampu menjadi sandaran
lelahku, penenang tidur malamku saat problematika hadir berekelebat dan menikam
mimpi-mimpi kita! Aku kira kau mampu menjadi bidadari yang lembut bagi anak
kita, kelak! Semua hanya perkiraan! Dan aku begitu salah telah memilihmu
menjadi calon istri!“ dengan geram ia melemparkan cincin pertunangan itu. Malam
telah berada pada titik puncaknya, tepat pukul 12 malam. Sunyi, tak satu pun
berani angkat suara kecuali kami berdua; aku dan Winda.
“Itu! Itu yang aku mau! Karena aku tidak ingin gila membangun
bahtera hidup yang bodoh bersamamu!“ pintanya sembari menunjukkan telunjuknya
dikepalaku. Ia meninggalkan segalanya dalam kedaan hancur dan melangkahkan
kakinya jauh-jauh, tak menoleh ke belakang sama sekali. Aku ingin mati dan tak
ingin merasakan hidup kembali. Aku ditenggelamkan oleh kehancuran hidup yang
luar biasa. Tuhan dan bulan sabit yang tertutupi awan itu menjadi saksi
pertengkaran dan perpisahan biadabku dengan wanita yang bukan lagi menjadi
calon istriku, Winda Trinita. Ya, hanya Tuhan dan bulan sabit yang menjadi
saksi malam kehancuran itu.
Sebuah karya sederhana yang telah ku gores dan diterbitkan oleh Penerbit Ellunar, Bandung, dalam Antologi Beneath The Same Moon Vol.2.
Sekali lagi ku ucapkan terima kasih.
Sonia Purbawati (Sonia Putri Purbawati)
Sekali lagi ku ucapkan terima kasih.
Sonia Purbawati (Sonia Putri Purbawati)

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYa ampun segitunyaaaa T^T
Hapus😂(ノ゚0゚)ノ~
BalasHapusAda apakah? Something wrong? Wkwkwkwk
Hapus