Kamis, 26 Maret 2015

Kehancuran Dua Belas Malam (Cerita Mini/Flash Fiction)

Aku meneguk secangkir kopi hangat yang membual bersama kekecewaan. Mengunyah singkong rebus buatanmu yang dibalutkan kehampaan. Beginikah balasan yang kau beri setelah lima tahun lamanya aku berjuang demi mempertahankan hubungan ini?
            “Sekarang kau punya apa? Orang tuamu sudah meninggal dan tidak mewariskan apa-apa! Pekerjaanmu hanya meminum kopi, menulis tak jelas tanpa memikirkan hal penting yang seharusnya kau tulis tuk mengayom hidup bersamaku nanti! Mau kasih makan apa anak-anakmu nanti? Kau lulusan S2 tetapi Nol!“
“Jangankan anak-anakmu, kau mau memberikan aku mahar berupa apa? Hanya sebongkah hati dan segudang cinta? Makan cinta saja tidak cukup!“
ucapnya dengan keras membentak dihadapanku. Lengkingan teriakanmu itu membuatku benar-benar dipuncak amarah, Winda. Kesabaranku habis pada tetes terakhir di kopi itu.   “Ucapkan sekali lagi!“ bentakku. Ia melakukannya. Ia mengulang kembali perkataannya. Dengan keras aku menendang meja itu dan ingin rasanya aku menampar kedua pipinya pada wajah yang tak lagi membuatku merasakan cinta. Aku terdiam dalam amarah yang tertahan, bergegas ke kamar, dan duduk di pinggiran ranjangku. Ia mengikutiku.
            “Lantas kau mau apa dariku? Aku dan keluargaku memang kaya raya, tapi itu semua dulu! Aku kira kau calon istriku yang mampu menemani dari awal tempat kesuksesanku berada hingga akhir masa kegagalanku! Aku kira kau mampu menjadi sandaran lelahku, penenang tidur malamku saat problematika hadir berekelebat dan menikam mimpi-mimpi kita! Aku kira kau mampu menjadi bidadari yang lembut bagi anak kita, kelak! Semua hanya perkiraan! Dan aku begitu salah telah memilihmu menjadi calon istri!“ dengan geram ia melemparkan cincin pertunangan itu. Malam telah berada pada titik puncaknya, tepat pukul 12 malam. Sunyi, tak satu pun berani angkat suara kecuali kami berdua; aku dan Winda.
“Itu! Itu yang aku mau! Karena aku tidak ingin gila membangun bahtera hidup yang bodoh bersamamu!“ pintanya sembari menunjukkan telunjuknya dikepalaku. Ia meninggalkan segalanya dalam kedaan hancur dan melangkahkan kakinya jauh-jauh, tak menoleh ke belakang sama sekali. Aku ingin mati dan tak ingin merasakan hidup kembali. Aku ditenggelamkan oleh kehancuran hidup yang luar biasa. Tuhan dan bulan sabit yang tertutupi awan itu menjadi saksi pertengkaran dan perpisahan biadabku dengan wanita yang bukan lagi menjadi calon istriku, Winda Trinita. Ya, hanya Tuhan dan bulan sabit yang menjadi saksi malam kehancuran itu.




Sebuah karya sederhana yang telah ku gores dan diterbitkan oleh Penerbit Ellunar, Bandung, dalam Antologi Beneath The Same Moon Vol.2.
Sekali lagi ku ucapkan terima kasih.

Sonia Purbawati (Sonia Putri Purbawati)

4 komentar: